46. Oposisi dalam Islam

  

 46. Oposisi dalam Islam


Pertanyaan:

 

Ustadz di Dewan Syariah yang saya hormati. Mengingat kekalahan partai-partai Islam seperti PK, PBB, PPP, maka memunculkan wacana politik baru dalam dunia perpolitikan Indonesia yaitu kubu oposisi terhadap partai pemenang pemilu yang dikategorikan para pengamat termasuk pro status-quo, konservatif dan tidak reformis. Maka saya ingin mengajukan pertanyaan sebagai berikut:

1.        Apa itu esensi dan hakikat oposisi yang sesungguhnya?

2.        Adakah wacana oposisi dalam Islam? Bagaimana implementasinya?

3.        Bagaimana etika oposisi dalam perspektif fiqih kontemporer?

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Mutammimul ‘Ula.

 

Jawaban:

 

Oposisi dalam bahasa Inggris opposition. Dalam bahasa Latin oppositus, opponere (memperhadapkan, membantah, menyanggah, menentang), menurut pakar hukum dan politik diartikan sebagai kubu partai yang mempunyai pendirian bertentangan dengan garis kebijakan kelompok yang menjalankan pemerintahan. Oposisi bukan musuh, melainkan sparing partner dalam percaturan politik.

 

Dalam demokrasi, oposisi dianggap sesuatu yang sangat diperlukan, sehingga oposisi dalam parlemen melembaga secara resmi. Sebab oposisi menjalankan suatu fungsi yang sangat vital dan penting yaitu check and balances, mengontrol pemerintah yang didukung mayoritas, menguji kebijakan pemerintah dengan menunjukkan titik-titik kelemahannya, mengajukan alternatif. (Lihat B.N. Marbun, SH. dalam Kamus Politik, Jakarta 1996, hal. 455-456, John M. Echols dan Hasan Shadli dalam Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta 1996, hal.407, Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat, Jakarta 1996, hal. 754).

 

Dalam wacana politik Islam, oposisi (mu’aradhah) ditinjau dari dua aspek; doktrin kultural dan institusi struktural. Aspek doktrin kultural, menekankan bahwa oposisi bukan sekadar hak asasi, melainkan juga suatu kewajiban syariah dan tanggung jawab moral. Seluruh nash (teks) al-Quran dan Sunah Nabi serta arahan para Khulafa’ Rasyidun membawa kepada konsekuensi logis mendorong umat Islam kepada sikap oposisi yang loyal (loyal opposition), konstruktif, dan reformatif. Karena, fokus dasar perintah syariah adalah amar ma’ruf dan nahi munkar yang diistilahkan oleh Imam Ghozali dalam Ihya ‘Ulumuddin (vol. II/265) sebagai ‘top sentral ajaran Islam’ (al-Quthb al-A’dzam Liddin) yang ditengarai oleh Saefuddin AF Isma’il telah dihapuskan dari konteks budaya politik praktis kontemporer dan hanya terbatas pada seruan dan himbauan moral sosial. (Tajdid Siyasi, hal. 364).

           

Berbagai krisis peradaban umat Yahudi bahkan menjadi bangsa terkena kutukan Allah, adalah karena mereka meninggalkan tugas penting kontol moral ini. Allah berfirman: “Mereka satu sama lain tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS Al-Maidah: 79).

 

Ini kebalikan watak Islam yang menjadikan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai budaya dan mental umatnya, sebagai modal pembentukan masyarakat madani berjaya yang Khairu Ummah (QS Ali Imran: 104, 110). Karenanya, Nabi SAW dalam berbagai hadisnya senantiasa memperingatkan umatnya untuk tidak mendiamkan apalagi melegitimasi kemungkaran. Bahkan beliau mendorong umat Islam untuk siap berdiri di garda terdepan dalam perjuangan menentang segala bentuk kezaliman.

 

Malik bin Nabi, filosuf Al-Azhar mengomentari hadis, “Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubahnya dengan tangannya. Bila tidak mampu, dengan lisannya. Bila tidak mampu, dengan hatinya. Dan itu selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, Ashab Sunan Ahmad), mengatakan bahwa setiap Muslim bukan sekadar menjadi penonton dan pengamat terhadap realitas sejarah, akan tetapi berperan mengubah alur peristiwa dengan mengembalikannya kepada jalur kebaikan seoptimal mungkin. (Tajdid Siyasi: 72).

 

Pengalaman historis menurut sejarawan Inggris, Lord Acton, membuktikan bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaannya, dan manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan bersikap otoriter dan menyalahgunakannya. Oleh karenanya, perlu dibatasi yakni dengan kontrol hukum dan pembatasan kekuasaan yang disemangati amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan prinsip dasar sharing of power dan check and balances.

 

Nabi SAW bersabda:

“Kalian benar-benar harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar atau Allah benar-benar akan menguasakan orang-orang jahat atas kalian, lalu orang-orang terbaik kalian berdoa (istighotsah) dan tidak akan dikabulkan.” (HR. Tirmidzi, Tabrani, Bazzar).

 

Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang menghadapi penguasa lalim dengan memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, lalu penguasa itu membunuhnya.” (HR. Hakim)

 

Bahkan Nabi SAW menganggap keberanian jika mengemukakan kebenaran kepada penguasa lalim merupakan jihad paling utama.

Menyatakan kebenaran kepada penguasa yang lalim merupakan jihad yang paling utama.” (HR. Ibnu Majah)

 

Dalam implementasinya, para sahabat bersama Rasulullah SAW dan generasi salaf sangat komit dengan doktrin oposisi yang dijiwai semangat amar ma’mur nahi munkar ini, dan hal itu bukan menjadi hal yang tabu serta asing bagi budaya sosial politik mereka.

 

Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai pemerintah pertama sepeninggal Nabi SAW, adalah pelopor gerakan oposisi rakyat terhadap pemerintah dalam mengawasi roda pemerintahan, mengevaluasi dan meluruskannya. Dalam pidato pengangkatannya setelah dibaiat rakyat sebagai khalifah, beliau berkata: “Sesungguhnya aku telah diangkat sebagai pemerintah kalian dan saya mengakui bukan orang terbaik kalian. Maka, jika saya berbuat baik dan bijak, hendaklah kalian dukung. Jika saya berbuat jelek, hendaklah kalian luruskan.” (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, vol. VI/264).

 

Demikian halnya Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab ra. Menyerukan, “Wahai rakyatku! Siapapun yang melihat penyimpangan pada diriku, maka hendaklah ia meluruskannya.” (Abdul Aziz Badri, Al-Islam baina ‘Ulama wal Hukkam, hal.59)

 

Semua itu bukan retorika dan basa-basi politik, tetapi benar-benar terimplementasi secara konsekuen. Pada saat umat Islam membebaskan daerah Irak, Syam dan Mesir pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, timbullah gerakan oposisi di kalangan militer yang ikut membebaskan daerah tersebut terhadap kebijakan Umar tentang otonomi dan eksistensi daerah pembebasan yang tidak akan dibagikan kepada pasukan pembebasan mengingat proyeksi ke depan. Dengan sabar dan bertawakal kepada Allah, akhirnya masalah tersebut dapat diselesaikan dengan damai dan mufakat.

 

Begitu Abu Bakar dibaiat sebagai Khalifah, sebagian sahabat menolak untuk memberikan baiat dan ikut dalam pemerintahannya serta memilih menjadi oposisi, di antaranya adalah Sa’ad bin ‘Ubadah. Dan hal itu dilindungi oleh Abu Bakar. (lihat Dr. Muhammad ‘Ammarah dalam Al-Islam wal Muaradhah As-Siyasiyah, pada majalah Al-‘Arabi, edisi November 1992).

 

Bahkan dalam prakteknya, barisan oposisi justru kerap dipelopori oleh tokoh ulama besar yang sdar politik dan menjaga independensi institusi keulamaan untuk tetap dipercaya umat sebagai panutan, yang membendung arus sekulerisasi dalam pemerintahan. Di antaranya adalah Sa’id bin Musayyib di Madinah, sebagaimana diriwayatkan ahli sejarah Islam klasik, Adz-Dzahabi, di mana beliau menolak kesertaan dalam pemerintahan  dan memberikan baiah kepada Abdul Malik bin Marwan pada masa pemerintahan Umawiyah. Meskipun sempat disiksa dengan 60 kali cambukan, dan pada kesempatan lain ditawari insentif serta suap 30.000 dinar. Namun, beliau tetap konsisten menolak untuk menjadi kroni pemerintah.

 

Suatu kali Umar bin Hubairah, seorang Gubernur pada masa pemerintahan Yazid bin Abdul Malik, memanggil para ulama seperti Hasan Al-Basri, Ibnu Sirin, dan Sya’bi. Dia meminta fatwa berkaitan dengan instruksi Yazid yang serba dilematis diungkapkannya, “Jika saya melaksanakannya, saya takut akan merusak imanku. Namun jika saya menolak, saya mengkhawatirkan keamanan diriku.” Maka para ulama itu menasihatinya dengan lembut dan berpesan agar tetap komitmen dengan ketakwaan kepada Allah dan menentang penguasa yang menyimpang dari kebenaran.

 

Iman Ghazali dalam Ihya’-nya (vol II/295) banyak mengungkap mentalitas elit umat dan ulama yang tetap konsisten bersikap oposisi dan menjaga jarak agar dapat mengontrol eksekutif, di antaranya adalah sikap tegas Thawus Al-Yamani terhadap penguasa Hisyam bin Abdul Malik, Sufyan Tsauri terhadap Abu Ja’far Al-Manshur, Fudhail bin ‘Iyyadh terhadap Harus Ar-Rasyid yang terang-terangan mengatakan kepadanya, “Jauhilah korupsi terhadap hak rakyat, karena Rasulullah SAW bersabda, ‘Barangsiapa yang menipu rakyat tidak akan mencium bau surga’.”

 

Demikian pula sikap oposisi loyal Abu Yusuf terhadap Harun Ar-Rasyid yang memberikan alternatif kebijakan fiskal yang islami kepadanya, seraya menasihatinya untuk takut kepasa Allah dalam amanat dan hak rakyat. Di samping itu, nama-nama Abdullah bin Zubair, Imam Nawawi, Al-‘Izz bin Abdus Salam dan Ibnu Taimiyah, terkenal sebagai tokoh barisan oposisi dari kalangan ulama dari berbagai generasi.

 

Persoalannya adalah dalam realitas politik kita, implementasi wacana oposisi perlu adanya reposisi dan reaktualisasi yang terkait dengan kelembagaan. Sebab, terjadi semacam ambiguitas makna legislatif, yang harusnya semua anggota dewan legisltaif bersikap oposisi terhadap eksekutif, karena itu sudah menjadi fungsinya, tidak perlu dikotomi, yang duduk di parlemen dari unsur dan partai mana pun entah yang berkuasa ataupun tidak berkuasa. Idealnya adalah partai yang berkuasa cukup menjadi MPR di samping duduk di eksekutif pemerintahan, bila tidak mau menjadi oposisi di legislatif. Sehingga, DPR adalah sebagai perwujudan institusional struktural bagi barisan oposisi eksekutif yang berfungsi mengontrol, mengawasi, dan meluruskan kebijakan pemerintah. (lihat Prof. Miriam Budiarjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik dan Inu Kencana dalam Pengantar Ilmu Pemerintahan)

 

Adapun etika oposisi yang harus dipegang oleh semua pihak adalah etika amar ma’ruf nahi munkar, di samping etika perbedaan pendapat (fiqhul ikhtilaf). Karena, tujuan oposisi adalah meluruskan, memberikan input positif dan memperbaiki, bukan menjatuhkan. Di antara landasan moral oposisi adalah sebagaimana yang dirangkum Yusuf Al-Qardhawi dalam Fiqh Ikhtilaf-nya (hal. 181) dan oleh Imam Ghazali dalam Ihya’-nya (vol. II/270) adalah:

 

1.        Ikhlas karena Allah serta demi kemaslahatan umat dan bangsa, bukan karena nafsu,

2.        Meninggalkan fanatisme terhadap individu, partai maupun golongan,

3.        Berprasangka baik dan positive thinking terhadap orang lain,

4.        Tidak menyakiti dan mencela,

5.        Menjauhi debat kusir dan ngotot tanpa argumentasi logis,

6.        Dialog dengan cara sebaik-baiknya,

7.        Bersikap adil dalam menilai dan bersikap,

8.        Memperhatikan skala prioritas (strata bonot penting masalah) masalah dan memakai fiqh muwazanah (pertimbangan masak sisi maslahat dan madharat),

9.        Mengedepankan persatuan dan menjauhi perpecahan,

Arif, dewasa, dan bijaksana serta mampu mengontrol emosi (QS An-Nahl: 125).

Comments

Popular posts from this blog

Muqadimah

Pengurus Dewan Syariah Pusat PKS

Kata Pengantar